AKU BUKAN SAMPAH
Dulu, malam buta...
Wanita muda terseok, lelah
Menahan sakit di ujung nafas
Lengking suara menggema
Di antara lolongan anjing malam
Syahdu...
Satu kali tarikan nafas terakhirnya
Dan, kau pun ada
Insan baru penghuni kampung derita
Di antara lautan sampah
Satu mata terbuka-satu mata tertutup
Kau ada-dia pergi
Hidup-mati
Kini, malam merona...
Malu pada lipstik merah
Dan bau parfum murahan yang menyengat
Kau tak diberi pilihan
Ikut pada jalan yang terbentang di depan
Kiri-kanan puluhan pasang mata memandang, jijik
Dasar sampah!
Terlalu jelas untuk sebuah bisikan
Kau diam...
Berulang-ulang
Berkali-kali
Menjadi-jadi
Ah, kau lelah
Kau mencari sinar di ujung getir kehidupan
Dalam perenungan, perenungan yang dalam
Dalam perjuangan, perjuangan yang dalam
Dalam kesedihan, kesedihan yang dalam
Keputusan tertoreh
Dalam ketenangan, dalam kedamaian
Kau kembali
Kau harus kembali
Pada Nur-Nya
Mereka tak percaya
Sekali sampah tetap sampah!
Aku bukan sampah!
Teriakanmu dikulum
Aku bukan sampah!
Luruh
Aku bukan sampah!
Luluh
Usahlah kau peduli
Mereka bukan Tuhan
Bisiklah pada Tuhan, Tuhan kan berkata padamu
“Aku bukan sampah!” bisikmu...
Sabarlah, Tuhan kan menjawab dengan cara yang berbeda...
(bumi pertaubatan, pelangi kehidupan)
Dulu, malam buta...
Wanita muda terseok, lelah
Menahan sakit di ujung nafas
Lengking suara menggema
Di antara lolongan anjing malam
Syahdu...
Satu kali tarikan nafas terakhirnya
Dan, kau pun ada
Insan baru penghuni kampung derita
Di antara lautan sampah
Satu mata terbuka-satu mata tertutup
Kau ada-dia pergi
Hidup-mati
Kini, malam merona...
Malu pada lipstik merah
Dan bau parfum murahan yang menyengat
Kau tak diberi pilihan
Ikut pada jalan yang terbentang di depan
Kiri-kanan puluhan pasang mata memandang, jijik
Dasar sampah!
Terlalu jelas untuk sebuah bisikan
Kau diam...
Berulang-ulang
Berkali-kali
Menjadi-jadi
Ah, kau lelah
Kau mencari sinar di ujung getir kehidupan
Dalam perenungan, perenungan yang dalam
Dalam perjuangan, perjuangan yang dalam
Dalam kesedihan, kesedihan yang dalam
Keputusan tertoreh
Dalam ketenangan, dalam kedamaian
Kau kembali
Kau harus kembali
Pada Nur-Nya
Mereka tak percaya
Sekali sampah tetap sampah!
Aku bukan sampah!
Teriakanmu dikulum
Aku bukan sampah!
Luruh
Aku bukan sampah!
Luluh
Usahlah kau peduli
Mereka bukan Tuhan
Bisiklah pada Tuhan, Tuhan kan berkata padamu
“Aku bukan sampah!” bisikmu...
Sabarlah, Tuhan kan menjawab dengan cara yang berbeda...
(bumi pertaubatan, pelangi kehidupan)
Tiada raga ku di sana,
menyaksikan nafas yang terpisah benang mati dan hidup
aku membeku oleh gelisah
di balik kehangatan mentari
aku tercekik gulana
saat angin tak mengabarkan
kemana nafasnya berpadu
aku tersalib amarah
kaki langit menampakan horizon derita
tentang aku,
kamu,
dia,
mereka,
segenap darah kita yang mengalir dalam tubuh tercacah
oleh kebencian, kecemburuan, kesinisan
orang-orang yang berikrar
menghancurkan kehidupan sederhana ini
sampaikan pada tubuh yang tergolek lemah
bisikkan pada raga yang berserpih caci
aku kan mengubah
dan membuktikan
kita adalah satu, dan bersatu
kita adalah satu, dan bersatu
kita adalah satu, dan bersatu
dua belas cinta untuk satu asa….
Selendang Biru
Melambai memanggilku, sedang siang meramu peluh
Abaikan saja! Bilakah susu dibalas tuba
Terus memanggil, berpantun dengan waktu
Benar-benar tuba daku, lanjut mengayuh ego di telaga kota
Tak henti sang selendang biru, kusam sudah kalah oleh waktu
Rintih bersajak, “pulang anakku…”
Tuba,tuba, daku…
BELENGGU 1000 DUSTA
Anggap dia hitam
Titik hitam…
Tutup saja mulutku
Sebelum memuntahkan titik-titik hitam
Lebih banyak
Dan lebih banyak lagi,
Malu, pada pagi dan siang
Yang gelap seperti malam
Malam tertawa
Kita tak ada bedanya, ujarnya geli
Hitam menjadi teman bagi alam
Yang geram. Tapi diam.
Akan ada saatnya…
Titik hitam itu tak lagi tersembunyi
Atau tersipu malu
Nampak,
Di balik jas berdasi
Di dalam gedung paripurna
Di bawah topi-topi sarjana
Di atas singgasana mulia
Di setiap jengkal kaki kita
Di antara titel-titel nan panjang
Menari titik-titik hitam…
Bebas, ringan, indah
Tarian ironi…
Aku, kau, dia dan mereka
Larut dalam kegelapan
Bicara hitam tak jadi soal
Masuk dalam menu makanan kehidupan
Amboi…
Jika tiba masa…
Semburan titik-titik hitam
Melahap satu persatu titik-titik putih
Pun mulai tercemar, tenggelam dalam hitam
Seperti lapindo memakan sebagian tanah jawa
Perlahan demi perlahan
Sedikit demi sedikit
Yang tersisa…
Dimana bersembunyi? Lebih baik pasrah, mereka lebih kuat…
Lagu lama!
Akhir yang menyedihkan?
Mengapa tidak kita panggil saja titik putih
Persilahkan hidup dan berkembang dalam diri
Yang kian gelap
Membuka belenggu si ‘titik hitam’
dan
Mulai menyulam rajutan cahaya
Dimulai dari sini
Dari aku, kamu, dia dan mereka
Ucapkan!
Selamat jalan kedustaan…
Dan,
Selamat datang kejujuran…
Akhir yang membahagiakan?
Aku ingin menikmati…
Hidup terlalu singkat untuk tidak dinikmati
maka, aku ingin menikmati…
semua yang terjadi dalam diri dan kehidupanku
senang, susah, duka, tawa
sedih, bahagia, sehat, sakit
dan segala rasa yang ada di muka bumi ini.
Aku menikmati setiap langkah kakiku
Menaiki tangga kehidupan. Setapak demi setapak.
Tak pula saat ku terjatuh, maka aku bangkit
Dan aku menikmatinya.
Aku menikmati angin yang berhembus.
Basah atau kering.
Aku menikmati tetesan hujan yang turun.
Deras atau rinai.
Aku menikmati sinar mentari yang memancar.
Terik atau hangat.
Aku menikmati pergantian musim
Panas atau hujan.
Semi atau gugur.
Sekali lagi aku menikmati semuanya.
Aku menikmati kejemuan di tengah perjalanan kehidupanku.
Kebimbangan, kegelisahan, keputus-asaan
Penghianatan, kasih sayang, cinta illahi
Aku menikmati dalam menjalani…
Saat ramai,
Sepi,
Atau sendiri.
Aku menikmati…
Tak ada sedetik pun berlalu
Tanpa aku menikmatinya.
Segalanya-semuanya.
Adalah anugerah.
Yang harus dinikmati
Maka nikmatilah!
Dan akhirnya aku menikmati apa yang seharusnya dinikmati
Karena hidup terlalu singkat untuk disia-siakan.
Dan aku mencoba untuk menikmati.
Menikmati dengan ikhlas
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
(cameo)
Label: perenungan
Langganan:
Postingan (Atom)