HENING


Gemulai daun
Menari dalam hening
Meliuk-liuk pasrah pada hembusan
angin,
lalu hening…

Tangan-tangan jahil, beraksi
memetik untuk mencampakkan
juga,
dalam hening…

Terombang-ambing, dalam alur drama baru
terhempas, mencium bau basah tanah
tersungkur, bersua derita
terinjak, tanpa rasa
terkoyak, perih
tersedu, letih
tersisih, sepi


Mengadu pada hening

dan,

Hening



PRASASTI SOL




            Dia percaya pada jarum, tasi, semir, serta kotak yang setia menggantung di leher. Bersahabat pada matahari, hujan, dan malam. Bercengkrama dengan peluh. Berkemul dengan deru dan debu. Bergulat dengan waktu. Yah, dia percaya.

*

            “Mbung! Berhentilah tersenyum, urus dulu perut kita.”

            Lelaki yang menginjak remaja itu terus berjalan, tak memperdulikan seseorang yang tertinggal jauh di belakang. Ia tersenyum atas perintah temannya untuk berhenti tersenyum. Lucu. Adakah larangan bagi orang yang kelaparan untuk tersenyum?

            “Woi, gue udah nggak kuat lagi nih. Laper!” Ucap lelaki bertubuh gempal setelah berhasil men-sejajarkan langkahnya dengan Mbung. Nafasnya tersengal. Kotak yang tergantung di lehernya naik turun mengikuti ritme nafasnya.

Mbung melirik sekilas, ia tak meragukannya. “Abang punya uang buat beli makanan?” ucapnya sambil terus berjalan.

            Tidak ada jawaban. Hanya ada gelengan lemah tak bersemangat.

            “Kalau begitu, yang perlu kita lakukan adalah terus berjalan dan berusaha untuk mendapatkan pelanggan, bang. Dan satu lagi…” ia berhenti kemudian berbalik ke arah lelaki tambun yang kini kembali tertinggal. “mengeluh tidak akan pernah membuat kita kenyang, kawan.”

            Mbrot, lelaki itu terdiam. Perlahan senyum mengembang menggantikan wajah masamnya. Ia memandang punggung Mbung yang basah oleh keringat. Punggung yang seharusnya memangku tas sekolah seperti remaja lainnya. Bukan punggung yang bercokol di atasnya beribu macam tanggungan. Mulai dari ayahnya yang terbaring tak berdaya karna stroke, ibu yang menjadi kuli cuci, juga beberapa adiknya yang tertatih mengenyam pendidikan. Dialah tulang punggung keluarga. Yah, anak muda itu.

            Mbung, mbung, tetaplah tersenyum. Lelaki itu berbisik diantara gemuruh teriakan ‘sol sepatu’ dari Mbung yang terus berjalan dengan senyuman.

*
           
            “Kawan, lu udah gila yah?” Mbrot heran melihat kelakuan Mbung yang menggali tanah, kemudian memasukkan sepatu mereka yang sudah hancur dan tidak layak pakai ke dalamnya. Lalu menguburnya.
            Seperti biasa, Mbung menanggapi dengan senyum. Ia mengangkat sebongkah batu kemudian menindih gundukan tanah di hadapannya. Ia merogoh saku, mengeluarkan sebuah paku. Mbrot penasaran dengan apa yang akan diperbuat teman ajaibnya. Ternyata, dengan paku itu Mbung menggoreskan nama mereka di atas batu. Mbung-Mbrot. Dan di atasnya tertulis besar-besar. PRASASTI SOL.

Selesai.

Ia mengelap peluh yang menggantung di hidungnya. Lalu menepuk-nepuk kedua tangannya. Sisa-sisa tanah berguguran dan sebagian lagi terbang dibawa angin yang berhembus.
Mereka saling pandang. Mbung tertawa melihat kerutan-kerutan yang nampak di dahi teman sekaligus kakak baginya. Tanpa diminta ia menjelaskan arti dari perbuatannya.
“Kalau selama ini prasasti adalah saksi dari sejarah yang berlangsung di zamannya. Maka sejak ujung paku menggores batu, inilah saksi kita bang. Bahwa kita pernah hidup dalam sebuah kemiskinan. Dan kita baru saja menguburnya.
Kita tak kan terjebak di dalamnya, apalagi menyerah. Kita masih boleh dan harus bermimpi. Suatu saat, kita akan menggapainya. Meski harus bertarung dengan tahun sekalipun. Parasti sol. Inilah prasasti kita.”

            Ajaib!

            Semangat itu. Senyum itu. Tuhan…
Mbrot malu. Usianya yang jauh di atas Mbung, tidak sedikitpun mencerminkan kedewasaan. Tidak pernah bermimpi dan tak sanggup memikirkannya. Yang diyakininya adalah: apa yang dimakan hari ini dan besok bisa makan atau nggak. Hanya itu.

            Kekagumannya bertambah. Pada Mbung. Anak muda yang tersesat. Ia menamainya seperti itu. Jalanan bukan tempat yang baik untuk anak seistimewa dirinya. Meski Mbung sendiri berpikiran lain, ketika sekolah tak dapat menerimanya dikarenakan uang, maka ia tak berputus-asa dan jatuh terpuruk. Ia tinggal memindahkan sekolah itu ke jalanan. Dan, tanpa uang. Justru menghasilkan uang. Itulah jawaban Mbung. Ajaib bukan?

Mbung, Mbung.

           

            “Bang! Bang! Kok bengong?”
           
Mbrot tersentak. Panggilan Mbung mengagetkannya. “Iya, kenapa?”

“Kok malah bengong? Ngiter lagi, yuk!” ajaknya.

Mbrot tersenyum. Matahari berada tepat di atas kepala, panas, panas sekali. Tapi, lihatlah pemuda itu! Ia berjalan tanpa alas kaki, tanpa penutup kepala, yang paling penting ialah: tanpa beban. Dengan lantang ia melangkah, teriakannya memecah lelah. Menggetarkan jiwa yang terbuai dunia.

Ia teringat ucapan Mbung.

“Sebab duka itu hanya persoalan kata, bang. Gantilah huruf ‘d’ dengan huruf ‘s’, apa yang terjadi? Ini hanya soal cara pandang kita saja.”

Sekali lagi, ajaib!

Mbrot tak ingin membuang-buang waktu. Ia memutuskan, tuk berlari mengejar Mbung yang masih melaju membelah siang. Dia tak ingin tertinggal jauh lagi.

Sedikit lagi.

Perih. Seperti membakar kulitnya.

Nikmati Mbrot! Lihat ke depan.

Tak lama,

Kau kan mengejarnya.

Yah.

Dapat.

Langkah mereka sejajar. Kemudian saling bertukar pandang dan berbalas senyum. Dan berteriak: Sol sepatu! Sol sepatu!

Hahahaha…

Tawa pun menggema. Menciptakan harmoni. Tentang mimpi. Asa. Dan cita. Tuhan melihatnya.

AIR MATA DAN CERITA

Aku menemukannya di ruang segi empat itu. Ia terbaring memeluk tubuhnya yang berguncang hebat. Air mata mengalir bersama erangan memilukan yang ditelan kesunyian. Ia menangis dan terus menangis. Tergugu dan pilu. Hal yang selalu dijauhinya selama ini. Merasa rapuh dan dikasihani. Ia benci itu.

Siang itu Ia tak peduli, betapa ruang hampa itu telah menggemakan tangisnya. Siapa saja bisa mendengarnya, seseorang akan tahu bahwa Ia memang rapuh. Bahwa selama ini dirinya memakai topeng yang penuh keceriaan serta senyum yang selalu mengembang. Sekali lagi, Ia tak peduli. Yang Ia tahu, dirinya hanya ingin menangis dan terus menangis.

Hidungnya tersumbat, seakan tak bisa bernafas lagi. Suaranya parau. Ia telah menghabiskan banyak waktu tuk menangis. Yah, menangis. Ia mencoba membayar semua drama dulu, tentang ketegaran yang sesungguhnya adalah sebuah kepura-puraan.

Ia masih menangis. Aku masih menatapnya. Punggungnya yang bergetar menahan sesak. Sejenak tangisnya terhenti, namun dia berdoa dalam hati:
“Ya Allah, jangan biarkan air mataku habis saat ini. Biarkan aku mengeluarkan sebanyak-banyaknya, seperti ketika aku menyimpan luka sebanyak-banyaknya.”

Aneh, kenapa aku bisa mengetahui doanya?

Setelah itu, ia kembali menangis lagi. Tuhan mengabulkannya. Setiap butir air mata yang jatuh ia selalu berucap:
“Ini untuk kesedihan yang aku simpan sendiri, ini untuk luka yang terabaikan, ini untuk keputus-asaan yang pernah ada, ini untuk rasa kesendirian yang selalu menyerang, ini untuk kepura-puraan yang menyakitkan, ini untuk kerinduan yang aku pendam, ini untuk cinta yang semu, ini untuk....”

Begitulah, ini dan ini. Terlalu banyak alasan untuk menangis. Sebagaimana alasan yang ia buat untuk menahan diri tuk tdk menangis.

Aku tetap berdiri, menyaksikan ‘pertunjukkan’ dibayangi tanda tanya besar. Apakah wanita itu telah puas menangis? Sebab aku tak tahan lagi mendengar nada pilu yang mengiris kalbu itu. Sembilu rasanya. Air matanya beranak pinak, seakan-akan inilah penampilan perdana mereka keluar dari bola mata indah itu. Guncangan tubuhnya seakan tak ingin terhenti. Semakin hebat.

Kau tidak akan percaya melihat wanita itu menangis sedemikian hebatnya, sebab kesehariannya selalu dipenuhi dengan tawa. Senyum seakan tak ingin lepas dari bibirnya. Keceriaan yang melahirkan kegembiraan untuk sekitar.

Aku tersentak. Wanita itu kini menangis lebih keras lagi, kedua tangannya memeluk dadanya yang terasa perih. Oh, begitu hebatkah ia menyimpan rasa sakit itu. Aku ingin sekali berjalan dan duduk disampingnya. Membelai dan menenangkannya. Kaku, kaki ini seakan terbelenggu tuk melangkah. Apakah mungkin aku hadir hanya sebagai penonton saja?



Aku mulai gelisah. Anak waktu terus berlari meninggalkannya. Dan wanita itu, ah, ia masih saja menangis. Namun kini, suara tangisnya melemah. Apakah ia lelah? Aku menajamkan telinga. Ternyata ia tengah berdoa dengan doa yang panjang. Dengan isak tentunya.

“Ya Allah, saksikanlah aku yang tengah bergelimang air mata. Ini bukan bagian dari kepura-puraanku. Maupun sandiwara memuakkan yang telah aku jalani. Inilah air mata yang kewajibannya telah aku tahan demi sebuah keegoisanku. Aku tak butuh menangis. Ternyata, aku salah aku memang butuh untuk menangis. Bukan butuh tapi harus. Sebab air mata ini bagai air hangat yang mencairkan kemunafikan yang membeku dalam jiwa dan ragaku.
Jika suatu saat keadaan membuatku berhak menangis, maka aku akan menangis. Air mata ini adalah anugerah-Mu, mengapa aku menahannya demi sebuah sanjungan orang-orang yang hanya menuntut seseorang berdiri dalam ketegaran yang kosong. Uraian air mata ini biarlah menjadi saksi, saat aku melepaskan belenggu-belenggu yang mengeraskan hatiku. Berkahilah air mata ini jangan jadikan ia sebuah kesia-siaan…”

Aku menyimak dengan sebaik mungkin. Tak kan kubiarkan sepotong kata dalam doanya tertinggal dari pendengaranku. Kalimat itu mengalir halus dan tulus. Semua ‘ego’ tertanggal di langit-langit ruang hatinya. Ringan dan damai. Hatiku tergetar. Ada apa ini?

Perlahan, air matanya berkurang. Suaranya tinggal erangan pelan. Tangannya yang sedari tadi meremas ujung sajadah mulai mengendur. Ia menyeka sisa air mata yang menggantung di kelopak mata.

Aku terjaga dari lamunan tentang doanya, aku seperti tersentil, atau apalah namanya. Yang jelas ada sesuatu yang menyeruak dari palung jiwaku. Apa itu? Entahlah, aku bilang aku tak tahu. Seakan-akan aku inilah bagian dari doanya. Aku mulai bingung sendiri.

Ah, wanita itu berdiri.

Aku harus pergi. Aku tak kan membiarkan ia menjadi malu dengan keberadaanku yang menyaksikannya menangis. Tapi, lagi-lagi kaki ini kaku. Seolah-olah terpancang di bumi tempatku berdiri.

Deg!
Dia menatapku, pandangan kami bertemu. Ada sisa air mata di pipinya. Kedua matanya bengkak, seperti ada daging yang menggantung di kantung matanya.

Ah, tidak. Apa aku tidak salah lihat. Wanita itu tersenyum. Tunggu, sepertinya aku kenal dengan senyum itu. Senyum yang sudah tidak asing lagi. Tapi dimana aku melihatnya? Aku mencoba mengingat.

Dimana? Dimana? Dimana?

Tidak! Aku menjerit.

Senyum itu, senyum itu, adalah senyum yang sama ketika aku menatap cermin. Tiba-tiba saja aku merasa lemas. Tubuhku terasa ringan, kaki yang tadinya terasa kaku kini seakan mencair dan  terangkat dari bumi. Lalu melayang. Yah, aku melayang. Meninggalkan wanita itu yang kini tengah bersujud. Lama, lama sekali.

Blogger Template by Blogcrowds